Jumat, 27 September 2013

HAKIKAT KURIKULUM, KONSEP DASAR KURIKULUM, DAN KOMPONEN KURIKULUM


HAKIKAT KURIKULUM, KONSEP DASAR KURIKULUM,
DAN KOMPONEN KURIKULUM



Penulis
Kelompok VI
1.      Janatun Naim                                    ( 1013041011 )
2.      Zusi Ardiana                                      ( 1013041073 )
3.      Eka Rahmatul Fitriyani                   ( 1013041007 )
4.      Dona Ratnasari                                 ( 1013041005 )
5.      Ria Anggraeni                                   ( 1013041055 )
6.      Siti Andaria                                       ( 1013041061 )
7.      Amara Natalia                                   ( 1013041075 )

Prodi               : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Kelas               : A

Mata Kuliah : Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum
Dosen             : Dr. Sultan Djasmi, M.Pd.




clip_image002




BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013

 
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dalam mata kuliah Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum yang berjudul “Hakikat Kurikulum, Konsep Dasar Kurikulum, dan Komponen Kurikulum” ini dengan sebaik-baiknya.

Penulis sadar bahwa makalah ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dosen pengampu, rekan-rekan, dan pihak-pihak yang telah membantu baik secara moril maupun spiritual. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih.

Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kiranya kritik dan saran sangat penulis nanti dari para pembaca. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


Bandarlampung, Maret 2013


Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................         i
DAFTAR ISI ..................................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................        1
1.1         Latar Belakang .......................................................................................        1
1.2         Rumusan Masalah ..................................................................................        2
1.3         Tujuan ....................................................................................................        2
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................        3
2.1         Hakikat Kurikulum ................................................................................        3
2.2         Konsep Dasar Kurikulum .......................................................................        6
2.3         Teori Kurikulum .....................................................................................      11
2.4         Proses Kurikulum ...................................................................................      20
2.5         Tujuan Kurikulum ..................................................................................      21
2.6         Komponen Kurikulum ...........................................................................      28
2.7         Jenis-Jenis Kurikulum ............................................................................      31
BAB III PENUTUP ........................................................................................      35
3.1         Simpulan ................................................................................................      35
DAFTAR PUSTAKA

 
I.     PENDAHULUAN
                                           
1.1    Latar Belakang
Dalam melakukan suatu kegiatan pasti akan memerlukan suatu perencanaan dan organisasi yang dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur agar dapat mencapai tujuan yang ditentukan atau yang diharapkan. Demikian pula halnya pendidikan, diperlukan adanya program yang terencana dan dapat mengantarkan proses pembelajaran atau pendidikan sampai pada tujuan yang diharapkan. Proses, pelaksanaan, sampai penilaian dalam pendidikan lebih dikenal dengan istilah “kurikulum pendidikan”.

Dalam dunia pendidikan, kurikulum memunyai peranan yang penting karena merupakan operasionalisasi tujuan yang hendak dicapai, bahkan tujuan tidak akan tercapai tanpa melibatkan kurikulum pendidikan. Kurikulum merupakan salah satu komponen pokok dalam pendidikan. Kurikulum sendiri juga merupakan sistem yang mempunyai komponen-komponen tertentu. Kurikulum dapat diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata.

Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memunyai kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan. Pendidikan tidak mungkin berjalan dengan baik atau berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan jika pendidikan tidak dijalankan sesuai dengan kurikulum. Kurikulum yang dibuat tidak dapat mencapai kesempurnaan jika dalam penyusunannya, penyusun kurikulum tidak memahami secara utuh hakikat dan fungsi kurikulum.

Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa memahami konsep dasar dari kurikulum. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait dengan kurikulum harus mengetahui hakikat kurikulum. Dalam makalah ini akan dibahas tentang hakikat kurikulum tersebut.

1.2    Rumusan Masalah
Makalah ini memunyai rumusan masalah yaitu sebagai berikut.
1.      Apakah hakikat kurikulum?
2.      Bagaimanakah konsep dasar kurikulum?
3.      Apakah teori kurikulum?
4.      Bagaimanakah proses kurikulum?
5.      Apa sajakah tujuan kurikulum?
6.      Apa sajakah komponen kurikulum?
7.      Apa sajakah jenis-jenis kurikulum?

1.3    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1.      Untuk memahami tentang hakikat kurikulum, konsep dasar kurikulum, teori kurikulum, proses kurikulum, dan tujuan kurikulum.
2.      Untuk menambah pengetahuan tentang komponen kurikulum dan jenis-jenis kurikulum.
II.      PEMBAHASAN

2.1    Hakikat Kurikulum
Istilah “kurikulum”memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dengan dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tersebut berdeda-beda satu dengan lainnya, sesuai dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar bersangkutan. Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni “Curriculae” artinya jarak yang harus ditempuh seseorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti, bahwa siswa telah menempuh kurikulum yang berupa rencana pelajaran, sebagaimana halnya seorang pelari telah menempuh suatu jarak antara satu tempat ke tempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap sebagai jenbatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu. Beberapa tafsiran lainnya dikemukakan berikut ini (Hamalik, 2008:16-17).

Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran. Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dipandang sebagai pengalaman orang tua atau orang-orang pandai masa lampau, yang telah disusun secara sistematis dan logis. Misalnya, bakat pengalaman dan penemuan-penemuan masa lampau, maka diadakan pemilihan dan selanjutnya disusun secara sistematis, artinya menurut urutan tertentu, dan logis, artinya dapat diterima oleh akal dan pikiran. Mata ajaran tersebut mengisi materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa, sehingga memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan yang berguna baginya. Semakin banyak pengalaman dan penemuan-penemuan maka semakin banyak pula mata ajaramn yang harus disusun dalam kurikulum dan harus dipelajari oleh siswa disekolah (Hamalik, 2008:16-17).
Ditinjau dari asal katanya, kurikulum berasal dari bahasa yunani yang mula-mula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu kata currure yang berarti jarak tempuh lari. Dalam kegiatan berlari tentu saja ada jarak yang harus ditempuh mulai dari start  sampai dengan finish. Jarak dari start sampai dengan finish disebut currure.  Atas dasar tersebut pengertian kurikulium diterapkan dalam bidang pendidikan.

Banyak ahli pendidikan dan ahli kurikulum yang membatasi pengertian kurikulum beberapa definisi tersebut dirumuskan dengan berbeda meskipun pada initinya terkandung maksud yang sama. Sebagai gambaran ada beberapa pengertian kurukulum yang dikembangkan oleh bebrapa orang ahli. Hilda, Taba dalam bukunya, Curriculum Development, Theory and Practice (1962), mendefinisikan kurikulum sebagai a plan for learning.  J.F Kerr (1966) mendefinisikan kurikulum sebagai :
All the learning which is planned or guided by the school, whether it is carried on in groups or individually, inside of or outside the school”.
Definisi yang lebih kompleks tentang kurikulum dikemukakan oleh Rene Ochs (1964) yang dikutipoleh Ariech Lewy (1970) sebagai berikut:
This term often to design aqually a programme for a given subject matter for the entire cycle or even the whole range of cycles. Further, the term curriculum is somestimes used in a wider sense to cover the various educational activities through which the content is conveyed as well as materials used and methods employed.
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan aktivitas dan kegiatan belajar yang direncanakan, diprogramkan bagi peserta didik di bawah bimbingan sekolah, baik di dalam maupun luar sekolah. Atas dasar tersebut secara oprasional kurikulum dapat didefinisikan sebagai berikut.
1.      Suatu bahan tertulis yang berisi uraian tentang program pendidikan suatu sekolah yang dilaksanakan dari tahun ke tahun;
2.      Bahan tertulis yang dimaksudkan untuk digunakan guru dalam melaksanakan pengajaran untuk siswa-siswanya;
3.      Suatu usaha untuk menyampaikan asas dan ciri terpenting dari suatu rencana pendidikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan guru di sekolah;
4.      Tujuan-tujuan pengajaran, pengalaman belajar, alat-alat belajar dan cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam pendidikan; dan
5.      Suatu program bpendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Definisi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kurikulum sebagai program yang direncanakan dan dilaksanakan di sekolah serta kurikulum sebagai program yang direncanakan dan dilaksanakan secara nyata di kelas.

Ada pakar kurikulum yang mengutarakan bahwa “kurikulum mencakupi maksud, tujuan, isi, proses, sumber daya, dan sarana-sarana evaluasi bagi semua pengalaman belajar yang direncanakan bagi para pembelajar baik di dalam maupun di luar sekolah dan masyarakat melaluipengajaran kelas dan program-program terkait”, dan selanjutnya membatasi “silabus sebagai suatu pernyataan mengenai rencana bagi setiap bagian kurikulum menesampingkan unsure evaluasi kurikulum itu sendiri;… silabus hendaknya dipandang dalam konteks proses pengembangan kurikulum yang sedang berlangsung” (Robertson 1971: 584; Shaw 1977 dalam Tarigan, 1993:5).

Selain itu, masih terdapat bermacam-macam pengertian diberikan kepada istilah kurikulum. Ada pengertian yang sangat luas dan sebaliknya terdpat pengertian yang sempit. Perkataan kurikulum bukan perkataan Indonesia asli, tetapi berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Yunani. Di dalam kamus Webster dalam Team Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik (1995:97) terdapat beberapa arti dari kurikulum, di antaranya yaitu sebagai berikut.
1.      Tempat berlomba, jarak yang harus ditempuh  pelari kereta lomba.
2.      Pelajaram-pelajaran tertentu yang diberikan di sekolah atau perguruan tinggi yang ditujukan untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah.
3.      Keseluruhan pelajaran yang diberikan dalam suatu lembaga pendidikan.

Lazimnya, kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan berserta staf pengajarnya (Nasution, 2006:5). Pengertian kurikulum yang lebih luas kemudian diberikan oleh para pendidikan yaitu “segala usaha sekolah untuk memengaruhi anak belajar, di dalam kelas, di halaman sekolah maupun di luarnya” atau “segala kegiatan di bawah tanggung jawab sekolah yang memengaruhi anak dalam pendidikannya” (Team Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik, 1995:97).
Pendapat ini timbul karena para pendidik kini beranggapan, dengan memperhatikan pengaruh hidden curriculum sangat membutuhkan pemikiran-pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan yang lebih luas dan mungkin biaya yang lebih besar daripada merencanakan kurikulum yang bersifat tertulis. Yang termasuk hidden curriculum, misalnya dengan tersedianya ruang perpustakaan yang nyaman dan buku-buku yang lengkap akan dengan sendirinya meningkatkan gairah membaca murid-murid.

Karakteristik lain dari kurikulum terutama stated curriculum yaitu sebagai berikut.
a.       Kurikulum harus bersifat fleksibel, mudah diubah menuju ke kesempurnaan, sesuai dengan kubutuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
b.      Kurikulum adalah deskripsi atau uraian tentang rencana atau program yang akan dilaksanakan.
c.       Kurikulum biasanya berisi tentang bermacam-macam bidang studi (areas of learning).
d.      Kurikulum dapat diperuntukkan bagi seorang pelajar saja atau disusun bagi suatu kelompok yang besar.
e.       Kurikulum selalu berhubungan dengan atau merupakan program dari suatu lembaga pendidikan (educational centre).
(Team Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik, 1995:100).

2.2    Konsep Dasar Kurikulum
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu pandangan ini masih dipakai sampai sekarang, yaitu kurikulum sebagai “... a raccecourse of subject matter to be mastered” (Robert S. Zais, 1976:7 dalam Sukmadinata, 1997:4). Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus mungkin kurikulum diartikan hanya sebagai isi pelajaran.

Pendapat-pendapat yang muncul selanjutnya telah beralih dari menekankan pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Menurut Caswel dan Campell dalam bukku mereka yang terkenal Curriculum Development (1935), kurikulum ... to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Perubahan penekanan pada pengalaman ini lebih jelas ditegaskan oleh Roland C. Doll (1974:22 dalam Sukmadinata, 1997:4):
The commonly accepted definition of curriculum has changed from content of courses of study and list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school..
Definisi Doll tidak hanya menunjukan adanya perubahan penekanan dari isi kepada proses, tetapi juga menunjukan adanya perubahan lingkup, dari konsep yang sangat sempit kepada yang lebih luas. Apa yang dimaksud dengan pengalaman siswa yang diarahkan atau menjadi tanggung jawab sekolah mengandung makna yang cukup luas. Pengalaman tersebut dapat berlangsung di sekolah, di rumah ataupun di masyarakat, bersama guru atau tanpa guru, berkenaan langsung dengan pelajaran ataupun tidak. Definisi tersebut juga mecakup berbagai upaya guru dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta berbagai fasilitas yang mendukungnya.

Mauritz Johnson (1967:30 dalam Sukmadinata, 1997:5) mengajukan keberatan terhadap Doll. Menurut Johnson, pengalaman hanya akan muncul apabila terjadi interaksi antara siswa dengan lingkungannya. Interaksi seperti itu bukan kurikulum, tetapi pengajaran. Kurikulum hanya menggambarkan atau mengantisipasi hasil dari pengajaran. Johnson membedakan dengan tegas antara kurikulum dengan pangajaran. Semua yang berkenaan dengan perencanaan dan pelasanaan, seperti perencanaan isi, kegiatan belajar mengajar, evaluasi, termasuk pengajaran, sedangkan kurikulum hanya berkenaan dengan hasi-hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh  siswa. Menurut Johnson kurikulum adalah ... a structured series of intended learning outcomes (Johnson, 167:130 dalam Sukmadinata, 1997:5).

Terlepas dari pro dan kontara terhadap pendapat Mauritz Jonhson, beberapa ahli memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Salah seorang diantara mereka adalah Mac Donald (1965:3 dalam Sukmadinata, 1997:5) Menurut dia,  sistem persekolahan terbentuk atas empat sub sistem, yaitu mengajar, belajar, pembelajaran, dan kurikulum. Mengajar (teaching) merupakan kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru . Belajar ((learning) merupakan kegiatan atau upaya yang dilakun siswa sebagai respons terhadap kegiatan yang diberikan oleh guru.  Keseluruhan pertautan kegiatan yang memungkinkan dan berkenaan dengan terjadinya interaksi belajar mengajar disebut pembelajaran (intruction). Kurikulum (curriculum) merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar mengajar.

Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana (curriculum plan) dengan kurikulum yang fungsional (functioning curriculum). Menurut Beauchamp (1968:6 dalam Sukmadinata, 1997:5) “ A curriculum is written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupil during their enrollment in given school”. Beauchamp lebih memberikan tekanan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran. Pelaksanaan itu sudah masuk pengajaran. Selanjutnya, dokumen tertulisnya saja, melainkan harus dinilai  dalam proses pelaksanaan fungsinya di dalam kelas. Kurikulum bukan hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan suatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan mengatur linhkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Rencana tertulis merupakan dokumen kurikulum (curriculum document or inert curriculum),  sedangkan yang dioperasikan di kelas merupakan kurikulum fungsional (functioning, live operative curriculum).

Hilda Taba (1962 dalam Sukmadinata, 1997:6) memunyai pendapat yang berbeda denga pendapat-pendapat yang berbeda dengan pendapat-pendapat itu. Perbedaan antara kurikulum dan pengajaran menurut dia bukan terletak pada implementasinya, tetapi pada keluasan cakupannya. Kurikulum berkenaan dengan cakupan tujuan isi dan metode khusus menjadi tugas pengajaran. Menurut Taba keduanya membentuk satu kontinum, kurikulum terletak pada ujung tujuan umum atau tujuan jangka panjang, sedangkan pengajaran pada ujung lainnya yaitu yang lebih khusus atau tujuan dekat.
Bagan 1.2 Kontinum kurikulum dan pengajaran
       Umum jangka panjang                             khusus jangka pendek
       KURIKULUM                                           PENGAJARAN
Menurut Taba, batas antara keduannya sangat relatif, bergantung pada tafsiran guru. Sebagai contoh, dalam kurikulum (tertulis), is harus digambarkan serinci, sekhusus mungkin agar mudah dipahami guru, tetapi cukup luas dan umum sehingga memungkinkan mencakup semua bahan yang dapat dipilih oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa serta kemampuan guru. Kurikulum memberikan pegangan bagi pelaksanaan pengajaran dikelas, tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab guru untuk menjabarkannya.

Suatu kurikulum, apakah itu kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah atau perguruan tinggi, kurikulum sekolah umum, kejuruan, dan lain-lain merupakan perwujudan  atau penerapan teori-teori kurikulum. Teori-teori tersebut merupakan hasil pengkajian, penelitian, dan pengembangan para ahli kurikulum. Menurut, Robert S. Zais (1976:3 dalam Sukmadinata, 1997:6), kurikulum sebagai bidang studi mencakup (1)  the range of subject metters with which it is concerned (the substantive structure), and (2) the procedures of inquiry and practice that it follows (the syntactical structure)” Menurut George A. Beauchamp (1976:58-59 dalam Sukmadinata, 1997:5) kurikulum sebagai bidang studi membentuk teori kurikulum sebagai ...a set of related statment thet gives meaning to a schools’s curicculum by pointing up the relationships among its element and by directing its development, its use, and its evaluation.

Bidang cakupan teori atau bidang studi kurikulum meliputi (1) konsep kurikulum, (2) penentuan kurikulum, (3) pengembangan kurikulum, (4) desain kurikulum, (5)  implementasi dan (6) evaluasi kurikulum.

Selain sebagai bidang studi menurut Beauchamp, kurikulum juga sebagai rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem kurikulum) yang merupakan bagian dari sistem persekolahan. Sebagai suatu rencana pengajaran, kurikulum berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran, alat-alat pengajaran dan jadwal waktu pengajran. Sebagai suatu sisten, kurikulum merupakan bagian atau subsistem dari keseluruhan kerangka organisasi  sekolah atau sistem sekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem menyangkut penentuan segala kebijakan tentang kurikulum , susunan personalia dan prosedur pengembangan kurikulum, penerapan, evaluasi , dan penyempurnaannya. Fungsi utama sistem kurikulum adalah dalam pengembangan, penerapan, evaluasi, dan penyempurnaannya, baik sebagai dokumen tertulis maupun aplikasinya dan menjaga agar kurikulum tetap dinamis.

Mengenai fungsi sistem kurikulum ini, lebih lanjut Beauchamp (1975:60 dalam Sukmadinata, 1997:5) menggambarkan:
...(1) the choice of arena for curriculum decision making, (2) the selection and involvement of person in curriculum planning, (3) organization for and techniques used in curriculum planning, (4) actual writing of a curriculum, (5) implementing the curriculum, (6) evaluation the curriculum, and (7) providing for feedback and modification of the curriculum.
Apa yang dikemukakan oleh Beauchamp bukan hanya menunjukan fungsi tetapi juga struktur dari sistem kurikulum, yang secara garis besar berkenaan dengan pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum.

2.3    Teori Kurikulum
Teori dan praktik haruslah seiring sejalan, saling menunjang, saling menggenapi satu sama lain. Para pakar teori bekerja sekuat daya menciptakan teori-teori baru dan para pelaksana menerjemahkannya ke dalam praktik yang nyata. Demikian pula hendaknya dalam teori dan praktik kurikulum pendidikan dan pengajaran bahasa. Banyak para pakar teori kurikulum mencoba merekontruksi pandangan-pandangan mengenai upaya karya kurikulum serta keprihatinan-keprihatinanya yang kebanyakan memang sangat penting dan menonjol.

Artikel yang berjudul “The Practical Uses of Curriculum Theory” disajikan oleh prof. Elizabeth valance (tip XXI : 4-10 dalam Tarigan, 1993:7). Sebagai pembuka edisi tersebut. Butir-butir yang dapat dipetik dari artikel tersebut, antara lain :
1.      Penggunaan teori kurikulum memang berbagai ragam, bergantung dari makna khusus istilah tersebut. Yang paling sesuai dengan tugas kita adalah “teori kurikulum” melibatkan pemikiran ilmiah yang cermat, unggul terhadap berbagai formulasi yang berbeda-beda, dan memberikan suatu kumpulan kegiatan yang secara umum bermaksud menjelaskan cara berpikir kurikulum itu.
2.      Kegunaan praktis teori kurikulum, apabila dibatasi sebagai  suatu kumpulan prinsip yang koheren, akan lebih terarah kalau teori tersebut berada dalam suatu disiplin tertentu yang mantap.
3.      Kalau “teori kurikulum” dikacaukan dengan “model-model kurikulum”, maka kegunaan praktisnya paling sedikit ada dua, yaitu :
(a)    Aplikasi model-model yang ada terhadap situasi-situasi nyata tertentu akan membantu sang pelaksana/praktisi untuk melihat secara lebih jelas pola-pola yang beroperasi dalam kelasnya atau dalam pengembangan kurikulum.
(b)   Model-model tidak hanya diterapkan dari situ; para pelaksana secara regular meramunya dari pengalaman-pengalaman praktis mereka sendiri untuk memahaminya dalam kategori-kategori informal, hierarki-hierarki, grafik-grafik, atau bentuk-bentuk model lainnya.
4.      Penggunaan praktis teori kurikulum benar-benar menuntut kita untuk melakukan suatu analisis terhadap situasi-situasi nyata. “Teorisasi” dalam teori kurikulum terjadi pada setiap tingkat dan dalam setiap makna “teori”.

Prof. William F. Pinar (dari University of Rochester) dan Prof. Madeleine R. Grumet (dari William Smith College) dalam artikel bersama yang berjudul “Socratic Caesura and the Theory-Practice Relationshep” (pp. 50-54) dalam Tarigan, 1993:14. Melihat bahwa :
1.      Terlalu sering, teori kurikulum disamakan dengan kebijakan kurikulum, dengan suatu bentuk idealisme yang nilainya merupakan kapasitasnya yang akan dialihkan secara serta merta ke dalam/menjadi kegiatan praktis.
2.      Terlalu sering, teori kurikulum dinodai/dicemari oleh kompleksitas kesadaran diri karya akademik, meremehkan kegiatan praktis untuk memelihara/mempertahankan hak (istemewa) kelas yang berpegang teguh pada hal-hal yang abstrak untuk memperluas kekuasaan statusnya.

Prof. Cleo H. Cherryhlomes dari Michigan State University menampilkan artikel “What Is Curriculum Theory? A Special Problem in Social Theory” (pp. 28-33) dalam Tarigan, 1993:12. Dari artikel tersebut dapat kita petik butir-butir berikut ini :
1.    Teori kurikulum haruslah menangani paling sedikit tiga bidang masalah, yaitu :
(a)      Praktik pendidikan haruslah dijelaskan;
(b)     kriteria etis yang yang diperlukan untuk meningkatkan; dan
(c)      isinya haruslah dikonseptualisasikan. 
2.    Ada beberapa masalah mengenai penjelasan praktik pendidikan :
(a)      Teori-teori dan penjelasan-penjelasannya tidaklah sempurna;
(b)     Makna istilah-istilah teoretis terbaca bagi pertanyaan;
(c)      Aspek lain dari makna istilah-istilah teoretis menimbulkan berbagai isu yang berbeda-beda;
(d)     Para pakar teori kurikulum haruslah menangani isu ketiga itu yang berkaitan dengan penjelasan-penjelasan dan masalah-masalah maknanya.
Teori kurikulum haruslah juga memberikan perhatian yang koheren terhadap isi substentif. Harus disadari benar-benar bahwa sedikit sekali harapan bahwa teori kurikulum akan dapat bersifat komprehensif pada semua bidang kurikuler. Oleh karena itu, teori kurikulum janganlah dianggap sebagai suatu pernyataan tetapi sebagai suatu pelacakan dan pencarian. Sang pelacak atau pencari akan bergerak dari satu masalah, dari satu situasi masalah kepada situasi masalah lainnya.

Teori kurikulum dalam pendidikan memuat pertimbangan-pertimbangan multi dimensional yang merupakan sekelompok keputusan tentang tujuan, struktur, pelaksanaa, dan evaluasi kurikulum maupun sistem persekolahan. Dalam pembicaraan ini akan dibahas empat bagian pokok yaitu
1.      Konsep
Membicarakan masalah kurikulum pada hakikatnya sama dengan memusatkan pada pembicaraan yang dimaksudkan oleh Schwab (1969) dalam Subandijah (1993:7) dengan the unstable but usable arts of the practitioner. Pernyataan ini mengandung maksud, bahwa teori kurikulum pada dasarnya bukannya hal yang stabil keberadaannya, namun selalu berkembang mengikuti arus dua arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun demikian teori kurikulum akan dapat berguna dan memberikan arti penting dalam praktisi, yaitu mereka yang mengelola sistem pendidikan. Dalam kaitan ini Beauchamp (1975) menggambarkan teori kurikulum dalam perspektif seperti tertera dalam gambar.


 








Gambar 2.1 Teori kurikulum dalam perspektif
Sumber: George A. Beauchamp. 1975. Curriculum Theory, 3rd. Wilmete. III The Kagg Press

Dari gambar di atas dijelaskan, bahwa secara garis besar ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu teori-teori tentang kemanusiaan, teori-teori tentang ilmu sosial, dan teori-teori ilmu alam. Dari ketiga kelompok ilmu murni tersebut akan kembang teori-teori terapan yang meliputi teori arsitektur, teori rekayasa, teori pendidikan, teori hukum , dan teori kedokteran. Teori-teori terapan tersebut masing-masing berkembang dengan memiliki cabang-cabang ilmu misalnya teori pendidikan berkembang menjadi teori administrasi, teori konseling, teori kurikulum, teori instruksional, dan teori evaluasi. Untuk perkembangan selanjutnya dari teori kurikulum muncul teori-teori baru yaitu: teori disain dan teori rekayasa.

Dari bagan tersebut ada dua teori rekayasa, yaitu teori rekayasa yang dihasilkan dari perpaduan teori tentang kemanusiaan, ilmu sosial dan ilmu alam. Teori ini menelaah tentang dasar dan aplikasinya dalam usaha perekayasaan teknologi canggih atau teknologi perangkat keras, misalnya: rekayasa bangunan, rekayasa mesin dan sebagainya. Sedangkan teori rekayasa dari teori kurikulum merupakan teori rekayasa yang membahas tentang dasar dan aplikasi perekayasaan, penyusunan dan pengembangan kurikulum untuk maksud membuat kurikulum yang lebih baik sebagai alat pencapaian tujuan pendidikan.

Teori kurikulum merupakan bidang yang menyelidiki pembatasan daerah operasi kurikulum. Oleh karena itu, teori kurikulum dapat juga disebut sebagai litmus test (sesuatu yang memberikan petunjuk dalam pengoprasian kurikulum sesuai dengan batas bidang garapannya), sehingga kurikulum yang bersangkutan benar-benar relevan dengan bidang garapannya.

Pada dasarnya teori kurikulum menuntut pandangan ilmu yang luas, tidak hanya terbatas pada ilmu pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk menguraikanrentangan relevansi pertimbangan (pemikiran) terhadap keputusan yang diambil dalm perencanaan sistem belajar, untuk mengeksplorasi alat-alat yang digunakan dalam pemilihan isi (content) yang relevan yang didukung dengan metode dan evaluasi yang efektif.

Teori kurikulum lebih dikenakan pada hubungan antara unsur-unsur dari sekolah sehingga dapat digunakan sebagai pengarahan, pengembangan , penggunaan dan evaluasinya (Beauchamp (1975) dalam Subanjidah, 1992:10).
Berdasarkan teori tersebut fakta menunjukan bahwa teori kurikulum memiliki fungsi yang sangat penting dalam kaitannya dengan usaha pelaksanaan kurikulum dalam praktitik pendidikan di sekolah.
2.      Fungsi Teori Kurikulum
Teori kurikulum memiliki fungsi yang sangat penting dalam kaitannya dengan penyusunan, pengembangan, pembinaan dan evaluasi kurikulum pada khususnya dan pendidikan pada umumnya. Dalam kaitannya fungsi kurikulum meliputi
a.       Sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan dan memberikan alternatif secara rinci dalam perencanaan kurikulum.
b.      Sebagai landasan sistematis dalam pengambilan keputusan, memilih, menyusun dan membuat urutan isi kurikulum.
c.       Sebagai pedoman atau dasar bagi evaluasi formatif dan kurikulum yang sedang berjalan.
d.      Membantu orang (yang berkepentingan dengan kurikulum) untuk mengidentifikasi kesenjangan pengetahuannya sehingga merangsang untuk diadakannya penelitian lebih lanjut.

3.      Klasifikasi Teori Kurikulum
Teori kurikulum dapat digunakan untuk melukiskan, menjelaskan dan meramalkan hal yang harus dilakukan atau kemungkinan baru yang akan terjadi. Di samping itu, teori kurikulum juga mengadakan analisis tentang keadaan pendidikan dan dampaknya terhadap masyarakat luas.

Berdasarkan hal tersebut maka teori kurikulum dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang para ahlinya. Seperti John D. McNeil (1990) mengklasifikasikan teori kurikulum atas (1)  soft curriculum, yaitu kurikulum yang mendasarkan pada filsafat, agama dan seni, dan (2) hard curriculum, yaitu kurikulum yang mendasarkan pada pendekatan rasional dan lapangan (dalam Subandijah, 1992:11-12).
Sedangkan menurut Pinar  teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori tradisionalis, konseptualis-empiris, dan rekonseptualis. Teori tradisionalis adalah teori yang mementingkan transmisi sejumlah pengetahuan dan pengembangan kebudayaan agar fungsi masyarakat berjalan sebagaimana mestinya. Teori konseptualis-empiris adalah teori kurikulum yang menerapkan metode penelitian dalam sains untuk menghasilkan generalisasi yang memungkinkan pendidik untuk meramalkan dan mengendalikan apa yang terjadi disekolah. Sedangkan teori rekonseptualis adalah teori yang menekankan pada pribadi, pengalaman eksistensial dan interpretasi hidup untuk melukiskan perbedaan dalam masyarakat (dalam Subandijah, 1992:12).

Ahli lain, yaitu Glatthorn mengklasifikasikan teori kurikulum berdasarkan pada ranah penyelidikan kurikulum sehingga teori ini dapat dikelompokkan menjadi
a.       Teori yang berorientasi pada struktur
Teori ini berkaitan dengan usaha untuk menganalisis komponen-komponen kurikulum dan hubungan antar komponen tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan kejelasan interaksi atau hubungan komponen kurikulum dengan lingkungan. Teori ini menjelaskan fenomena kurikulum pada tingkat makro (global) dan tingkal makro (lembaga).
b.      Teori yang berorientasi pada nilai
Teori ini didukung oleh rekonseptualis yang membahas masalah kemanusiaan.
c.       Teori yang berorientasi pada bahan.
Sesuai dengan orientasinya, teori ini berkaitan dengan pemilihan dan pengorganisasian bahan-bahan kurikulum. Semua kegiatan terpusat pada anak. Dalam perkembangannya dikenal ada tiga jenis kurikulum yang terpusat pada anak, yaitu:
1.      Pendidikan afektif, yaitu pendidikan yang mengutamakan perkembangan perasaan dan nilai pada anak.
2.      Pendidikan terbuka, yaitu pendidikan yang mengutamakan perkembangan sosial-kognitif anak melalui eksplorasi, kegiatan dan pertemuan informal.
3.      Pendidikan perkembangan, yaitu pendidikan yang mengutamakan tingkat perkembangan anak untuk menentukan status, bahan dan sekuens.
d.      Teori yang berorientasi pada proses.
Teori ini menitik beratkan pada proses pengembangan kurikulum, mengadakan analisis sistem dan mengadakan pengkajian strategi unsur pembentukan kurikulum.

4.      Corre Curriculum
Core curriculum menunjuk pada suatu rencana yang mengorganisasikan dan mengatur (scheduling) bagian utama dari program pendidikan umum disekolah (Saylor dan Alexander, 1956 dalam Subandijah 1992:13). Sedangakan Faunce dan Bossing,1951 dalam Subandijah, 1992:14) mendefinisikan bahwa istilah core curriculum menunjuk pada pengalaman belajar yang fundamental bagi peserta didik, sebab pengalaman belajar didapat dari (1) kebutuhan atau dorongan secara individual maupun secara umun, dan (2) kebutuhan secara sosial maupun sebagai warga negara masyarakat demokratis.

Alberty dalam menggunakan istilah core curriculum dan general curriculum dalam pendidikan digunakan secara simultan yang akhirnya dia berpendapat atas kedua istilah tersebut dengan sebutan core program.  Dalam kaitannya dengan core program  Alberty mengajukan enam tipe (jenis) core program, yaitu
a.       Core program terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang masing-masing dapat diajarkan secara bebas tanpa sistematika untuk mempertunjukan hubungan masing-masing pelajaran itu.
b.      Core program  terdiri atas sejumlah pelajaran yang dihubungkan satu dengan yang lainnya.
c.       Core program  terdiri atas masalah yang luas, unit kerja, atau tema yang disatukan, yang dipilih untuk menghasilkan arti mengajar secara efektif tentang isi pelajaran tertentu, misalnya matematika, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu pengetahuan sosial.
d.      Core program merupakan mata pelajaran yang dilebur dan disatukan.
e.       Core program merupakan masalah luas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan sosial, masalah minat anak (peserta didik).
f.       Core program merupakan unit kerja yang direncanakan oleh siswa (peserta didik) dsn guru untuk memenuhi kebutuhan kelompok (Alberty 1953 dalam Subandijah, 1992:14).

Core curriculum memiliki enam karakteristik yang dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam menentukan apakah suatu program pendidikan termasuk dalam core curriculum atau tidak yaitu
a.       Program kurikulum inti melengkapi pendidikan umum, dan tujuan program adalah seluas dengan hasil dasar yang dicapai melalui program pendidikan umum.
b.      Kelas dalam kurikulum inti (core curriculum) disusun atau diatur dua atau lebih priode kelas pada umumnya.
c.       Pengalaman belajar kelompok inti biasanya diorganisasikan berdasarkan pada unit kerja yang luas dan tidak terikat pada subject matter  (mata pelajaran) tradisional.
d.      Guru kurikulum inti menggunakan metode pengajaran yang lebih fleksibel dan bebas, dan menggunakan prosedur kelompok kerja sama dalam merencanakan dan melasanakan kegiatan belajar.
e.       Program kurikulum inti menggunakan berbagai macam pengalaman belajar.
f.       Bimbingan merupakan bagian yang pokok dari kegiatan kurikulum( Saylor dan Alexander 1956 dalam Subandijah, 1992:15-16).

Disiplin akademik (mata pelajaran) tradisional ini tidak memungkinkan menerima secara teoritis terhadap nilai yang bersifat edukasional. Broudy, Smith dan Burnett mengklasifikasikan isi kurikulum kedalam lima kelompok, yang selanjutnya diuraikan Jenkins sebagai berikut
a.       Bentuk pengetahuan yang digunakan sebagai alat berpikir simbolik, komunikasi belajar.
b.      Bentuk pengetahuan yang berupa fakta dasar yang sistematis dan hubungan antara fakta tersebut.
c.       Bentuk pengetahuan yang merupakan informasi yang terorganisasi sepanjang perkembangan budaya.
d.      Bentuk pengetahuan yang menggambarkan masalah masa depan dan mencoba mengatur aktivitas yang sesuai dengan aturan sosial (masyarakat).
e.       Sifat integratif dan disiplin inspirasional yang menciptakan sintesa skema nilai dalam bentuk ilmu filsafat, teologi dan kerja seni (Broudy, Smith dan Burnett 1964 dalam Subandijah 1992:17).

Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mengkaji core curriculum (kurikulum inti. Mendekatan tersebut meliputi
a.       Pendekatan yang berorientasi pada masalah dalam core curriculum diusulkan oleh Khuckholn dan Strodbeck (1961).
Dalam pendekatan ini mereka mengajukan lima postulat masalah pokok yang dihadapi semua peserta didik setiap waktu yaitu
1.      Karakter manusia
2.      Hubungan alam dengan manusia
3.      Pandangan manusia tentang waktu
4.      Hubungan manusia dengan kegiatan
5.      Hubungan manusia satu dengan manusia lain.
b.      Pendekatan kultural
Pendekatan kultural core curriculum menyatakan bahwa pertimbangan mengenai kebudayaan kultur yang merupakan perwujudan dalam semua masyarakat pada setiap waktu dan sekolah akan menyajikan pandangan yang mutakhir tentang kondisi masyarakatnya. Karena sekolah memperoleh perlakuan yang bersifat universal ini, kemudian sekolah diberi peluang dalam mengembangkan kurikulumnya yang berhubungan dengan kekhususan (sifat khas) lingkungannya (Subandijah, 1992:19-20).

2.4    Proses Kurikulum
Dalam model-model baku proses-proses kurikulum biasanya para perencana kurikulum bergerak maju secara sistematis dari penaksiran kebutuhan menuju maksud dan tujuan, terus keperincian isi pengajaran program. Berbicara mengenai proses-proses kurikulum, maka kita teringat akan model yang diajukan oleh Taba (1962:12 dalam Tarigan, 1993:18 ) yang terdiri tujuh langkah berikut.


 









Gambar 2.2 Cakupan Telaah Kurikulum Bahasa. (tarigan, 1992:100)

2.5    Tujuan Kurikulum
Tujuan adalah komponen kurikulum yang sering dianggap komponen pertama dalam menyusun kurikulum karena tujuan akan mengarah penyusunan komponen-komponen kurikulum lainnya. Tetapi kenyataan lain menunjukkan bahwa banyak para guru atau penyusun kurikulum yang kurang menyadari ada dan pentingnya peranan tujuan. Mereka sering tidak menghiraukan komponen tujuan dan tidak pernah merumuskannya.

Bila sudah ada tujuan dalam buku kurikulum, sering-sering rumusannya terlalu umum dan kurang jelas. Masalah pokok dan paling sukar sehubungan dengan komponen tujuan, yakni bagaimana menerjemahkan tujuan pendidikan yang sangat umum menjadi tujuan bersifat khusus dan operasional, artinya tujuan yang benar-benar dapat dicapai oleh murid-murid di dalam proses belajar dalam kelas.

Untuk memahami asal mula atau bagaimana tersusunnya tujuan kurikulum dari suatu sekolah (lembaga pendidikan) perlu diketahui tentang sumber-sumber yang membantu. Sumber-sumber tersebut adalah berupa dasar-dasar kurikulum yakni filsafat dan tujuan pendidikan, psikologi belajar, faktor anak dan masyarakat.

Pertama, misalnya kita akan menuliskan tujuan kurikulum Sekolah Menengah Pertama di Indonesia, maka tujuan tersebut harus sesuai sejalan dan sesumber pada tujuan umum pendidikan di Indonesia.

Agar dapat memahami sifat dan kedudukan tujuan kurikulum suatu sekolah, perlu diketahui adanya hirarki tujuan pendidikan. Hirarki tujuan pendidikan yang kita kenal, di Indonesia yaitu sebagai berikut.
1.      Tujuan Umum Pendidikan Nasional
Pendidikan umum dalam istilah ini ditinjau dari scope nasional. Tujuan umum pendidikan nasional adalah tujuan yang mengandung rumusan kualifikasi umum yang diharapkan telah dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia setelah menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. Sumber  tujuan umum ini biasanya terdapat di dalam undang-undang atau ketentuan-ketentuan resmi tentang pendidikan. Misalnya, tujuan umum pendidikan nasional kita yang telah digariskan di dalam GBHN dan Undang-Undang Pokok Pendidikan. Tujuan umum ini harus menjiwai tujuan pendidikan yang lain.
2.      Tujuan Institusional
Tujuan institusional pengkhususan dari tujuan umum dan berisi kualifikasi yang diharapkan diperoleh anak-anak setelah menyelesaikan studinya dalam suatu institusi atau lembaga pendidikan tertentu. Rumusan tujuan institusional ini misalnya, seperti yang terdapat di dalam undang-undang pokok pendidikan No. 12 Tahun 1957 pasal 7.
a.       Ayat 1 : Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak termasuk menentukan tumbuhnya    rohani dan jasmani kanak-kanak, sebelum dia masuk sekolah dasar.
b.      Ayat 2 : Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menentukan tumbuhnya rohani dan jasmani anak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing dan memberikan dasar pengetahuan, kecakapan dan ketangkasan, baik lahir maupun batin.
c.       Ayat 3 : Pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat bagi pendidikan dan pengajaran tinggi.
d.      Ayat 4 : Pendidikan dan Pengajaran Tinggi bermaksud memeberi kesempatan kepada pelajar untuk menjadi orang yang dapat memberi pimpinan di dalam masyarakat dan yang dapat memelihara kemajuan hidup kemasyarakatan.
e.       Ayat 5 : Pendidikan dan Pengajaran Luar biasa bermaksud memberi pendidikan kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurrangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka memiliki kehidupan lahir batin yang layak.

Tujuan institusional ini di samping tertulis dalam Undang-Undang biasa terdapat juga dalam buku pedoman kerja (kurikulum) dari tiap-tiap lembaga pendidikan tertentu dan biasanya dirumuskan lebih eksplisit, misalnya dalam buku Pedoman dan Kurikulum SMP sebagai berikut.
“Tujuan Umum Pendidikan di SMP adalah agar lulusan:
a.       Menjadi warga Negara yang baik sebagai manusia yang utuh, sehat, kuat lahir dan batin.
b.      Menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari pendidikan di Sekolah Dasar.
c.       Memiliki bekal untuk melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Lanjutan Tinggi Atas dan untuk terjun ke masyarakat.

3.      Tujuan Kurikuler (bidang studi)
Tujuan kurikuler adalah tujuan yang akan dicapai untuk tiap-tiap bidang studi tertentu, misalnya dalam IPA, Bahasa Indonesia, Matematika, mata pelajaran Bahasa Inggris, dan lain-lain. Setelah anak mengikuti kegiatan kurikuler dalam bidang studi atau mata pelajaran tersebut, mereka diharapkan memiliki kualitas tertentu.
4.      Tujuan Instruksional
Tujuan ini merupakan suatu rumusan yang melukiskan perubahan yang diharapkan dalam diri murid bila ia telah menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu. Kegiatan belajar tersebut berhubungan dengan topik atau sub topik atau unit/subunit dari mata pelajaran tertentu. Tujuan instruksional ini dapat dijabarkan menjadi beberapa hal yaitu sebagai berikut.
a.       Tujuan Istruksional Umum
Tujuan instruksional umum merupakan pernyataan hasil belajar yang diharapkan dimiliki oleh murid-murid, tetapi belum dirumuskan, tetapi belum dirumuskan sekhusus-khususnya dalam  bentuk perubahan tingkah laku murid yang mudah diamati dan tidak menimbulkan bermacam-macam tafsiran.
b.      Tujuan Istruksional Khusus
Tujuan instruksional  khusus adalah reumusan tujuan yang menggunakan istilah yang operasional, dirumuskan dari sudut produkbelajar dan sudut perubahan, tingkah laku anak serta dinyatakan dalam rumusan yang sekhusus mungkin, sehingga tujuan tersebut mudah dinilai.

Sebagai usaha merumuskan tujuan instruksional sekhusus dan sejelas mungkin, sehingga bersifat operasional, dirumuskanlah tujuan-tujuan tersebut dalam bentuk tingkah laku khusus dari anak yang mudah diobservasi dan dievaluasi (behavioral objektive).

Menurut Bloom dalam (,1993:106) mengemukakan adanya tiga macam bidang (domains) dari tingkah laku manusia, yaitu aspek cognitive (pengenalan, pengetahuan), affective (perasaan, penghayatan-nilai, sikap) dan psychomotor (keterampilan).

Selanjutnya pada masing-masing domains masih didiferensiasi menurut intensitasnya. Kedua, sebagai sumber yang membantu perumusan tujuan adalah psikologi belajar atau khususnya teori-teori belajar. Teori-teori belajar yang kita kenal, misalnya:
a.       Teori stimulus dari respons.
Teori stimulus (S) dan Respons (R) sering disebut SAR Bond Teori atau keneksionisme. Yang dimaksud dengan stimulus adalah perangsang atau situasi di luar individu atau organisme. Sedangkan repons ialah reaksi sebagai akibat dari stimulus. S-R menunjukan hubungan antara Stimulus dan Respon, Hubungan antara S-R menjelaskan segala bentuk belajar pada manusia dan binatang.Contoh analisa belajar berdasarkan teori koneksionisme ini adalah sebagai berikut: Misalnya, guru mengatakan, berapa 2 x 2 (=stimulus), maka anak menjawab 4 (=respons). Jasdi, belajar digambarkan sebagai proses asosiasi atau koneksi.
b.      Teori Gestalt
Berlawanan dengan teori assosiasi, teori ini berpendirian, bahwa keseluruhan tidak sama dengan jumlah bagian-bagiannya. Mengubah bagian akan mengubah keseluruhannya. Dalam belajar, keseluruhan situasi belajar itu penting. Belajar adalah interaksi yang kontinu antara organisme atau individu dengan lingkungannya. Hubungan antara organisme dengan lingkunganya tidak statis melainkan dinamis dan senantisa berubah. Sebenarnya tidak pernah terdapat suatu situasi yang berulang tak pernah terdapat ulangan dari situasi yang sama. Situasi dan individu atau organisme tak pernah sama akan tetapi selalu mengalami perubahan. Seorang belajar jika ia mendapatkan suatu insight atau tilikan atau pemahaman dalam suatu situasi yang problematis. Dengan insight dimaksud melihat hubungan antara unsur-unsur dalam situasi itu. Banyak percobaan dilakukan oleh Kohler dengan chimpanse yang menunjukan timbulnya insight pada kera itu pada waktu ia memahami suatu situasi problematis. Apa sebenarnya insight itu belum dipahaminya. Selanjutnya teori ini berpendapat, bahwa dalam proses belajar si pelajar selalu bertindak sebagai keseluruhan yang berusaha mencapai tujuan dengan menggunakan segala pengalamannya. Jadi belajar itu adalah proses perkembangan dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan  merupakan suatu proses yang aktif di mana terjadi suatu interaksi yang kontinu antara organisasi atau individu dengan lingkungannya.

Tujuan kurikulum berdasrkan teori gestalt, misalnya ialah: agar anak dapat memahami suatu konsep, agar anak dapat menganalisa suatu problem, dan sebagainya.

Ketiga, sebagai sumber yang membantu dalam perumusan tujuan adalah pemahaman kita tentang hakikat anak serta realitas hidup kejiwaannya.

Anak adalah faktor utama dalam proses pendidikan. Anaka erat hubunganya dengan kurikulum. Anak dapat dianggap sebagai konsumen dari kurikulum atau dapat dikatakan kurikulum merupakan alat untuk membantu perkembangan anak. Kurikulum sekarang disusun berdasrkan orientasi pada sifat hakikat anak. Proses pendidikan sekarang adalah child-oriented. Di dalam proses interaksi antara pelajar dan mengajar, proses belajarlah yang dipentingkan. faktor manusia utama di dalam kelas bukan lagi guru, tetapi murid. Untuk memahami realitas hidup kejiwaan anak, maka sumbangan psikologi perkembangan adalah sangat besar

Beberapa realitas kehidupan jiwa maka, misalnya ialah:
1.      Anak adalah individu yang terus menerus tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan atau kematangan. Proses perkembangan anak tersebut bersifat kontinu namun cara teoritis proses perkembangan tersebut dapat dibagi-bagi jadi beberapa fase perkembangan. Pada tiap-tiap fase perkembangan terdapat sifat-sifat yang jelas dan berbeda dengan sifat-sifat yang jelas dan berbeda dengan sifat-sifat pada fase lainnya. Namun perlu diingat, bahwa batas antara fase-fase perkembangan tersebut tidak tegas. Perkembangan tetap merupakan proses kontinu. Proses tersebut berlanjut pada individu yang merupakan sifat-sifat atau kemampuan pembawaan (kodrat) dan faktor lingkungan, khususnya lingkunagn pendidikan.

Sebagai contoh pembagaian proses perkembangan menjadi fase-fase perkembangan, adalah pembagian yang dikemukakan oleh Kohnstamm, sebagai berikut:
a)      Masa Vital (0;0-2;0).
b)      Masa Kanak-kanak (2;0-6;0).
c)      Masa Sekolah (6;0-12;0).
d)     Masa Remaja (12;0-18;0).
e)      Masa Transisi dari remaja ke dewasa (18;0-21;0).
f)       Masa Dewasa (21;0-24;0).
Pada tiap-tiap masa perkembangan, sifat-sifat menunjukkan perbedaan dengan sifat-sifat masa perkembangannya.
a)      Anakmerupakan individu, perkembangan anak bukanlah perkembangan bagian, atau fungsi demi fungsi, tetapi merupakan perkembangan yang bulat keseluruhan.
b)      Anak merupakan individu yang berbeda dengan individu yang lain.
c)      Anak adalah individu yang mempunyai motif atau dorongan semua perbuatannya adalah berdasarkan motif untuk mencapai tujuan tertentu.
a.       Keempat, adalah masyarakat sebagai sumber yang membantu perumusan tujuan kurikulum. Kurikulum harus berorientasi pada masyarakat.
Sehubungan dengan pengertian tentang masyarakat tersebut, sekolah mempunyai tiga macam fungsi atau tugas yaitu mewarsikan nilai-nilai kebudayaan masa lalu kepada generasi muda, membahas, meniali secara kritis dan menyeleksi nilai kebudayaan masa kini untuk memberikan kecakapan, keterampilan kepada generasi sekarang agar dapat hidup, produktif dan analisis serta mengembangkan daya cipta untuk memperbaiki keadaan masa kini dan menciptakan keadaan yang lebih baik untuk masa depan.

2.6    Komponen Kurikulum
Untuk kepentingan pemahaman lebih lanjut tentang kurikulum dan untuk pengembangan atau penyusunan kurikulum, perlu adanya penyebaran kurikulum dalam bentuk komponen-komponen.

Salah satu usaha penyebaran ialah membagi kurikulum menjadi empat komponen yaitu sebagai berikut.
1.      Tujuan (obyektive).
2.      Pengalaman-pengalaman belajar (learning experiences).
3.      Organisasi dari pengalaman belajar (organization of learning experiences).
4.      Penilaian hasil belajar (evaluation of student progress).

Untuk menyusun suatu kurikulum, misalnya dapat dimulai dengan merumuskan tujuannya. Dengsn terumusnya tujuan kurikulum secara jelas, specific, dan operasional, maka pemilihan pengalaman belajar yang sesuai bagi murid-murid akan lebih mudah karena tujuan yang akan dicapai sudah jelas. Usaha selanjutnya adalah mengorganisasikan pengalaman-pengalaman belajar yang akan berlangsung sebagai langkah terakhir adalah menyusun alat-alat evaluasi untuk menilai kemajuan-kemajuan yang telah dicapai murid. Perlu diketahui bahwa dalam menyusun kurikulum tidak harus dimulsi dengan perumusan tujuan, tetapi dapat pula dimulai dari pemilihan pengalaman belajar atau organisasinya atau evaluasinya.
Adapun komponen-komponen kurikulum pada prinsipnya terdiri dari empat macam komponen yaitu (1) tujuan, (2) materi, (3) metode dan (4) evaluasi.
1.      Komponen Tujuan
Komponen tujuan adalah komponen kurikulum yang menjadi target atau sasaran yang mesti dicapai dari melaksanakan suatu kurikulum, karena melalui tujuan, materi proses dan evaluasi dapat dikendalikan untuk kepentingan mencapai tujuan kurikulum. Dimana tujuan kurikulum dapat dispesifikasikan ke dalam tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Selain itu pencapaian komponen tujuan kurikulum berakibat langsung terhadap pencapaian tujuan-tujuan pendidikan selanjutnya.
2.      Komponen Materi/Isi
Komponen materi adalah bahan-bahan kajian yang terdiri dari ilmu pengetahuan, nilai, pengalaman, dan keterampilan yang dikembangkan ke dalam proses pembelajaran guna mencapai komponen tujuan, oleh karena itu komponen tujuan dengan komponen materi atau dengan komponen-komponen yang lainnya haruslah dilihat dari sudut hubungan yang fungsional. Hubungan fungsional dalam konteks ini adalah hubungan yang didasarkan atas fungsi masing-masing komponen kurikulum, sehingga salah satu komponen tidak berfungsi maka dengan sendirinya mengakibatkan komponen yang lain menjadi tidak berfungsi.
3.      Komponen Metode/Organisasi
Komponen metode dibagi atas dua bagian yaitu, komponen metode dalam pengertian luas dan sempit. Komponen metode dalam arti sempit yaitu berupa penggunaan salah satu cara dalam mengajar atau belajar. Sedangkan Komponen metode dalam pengertian luas adalah tidak hanya sekedar metode mengajar, tetapi juga dipersoalkan mengenai bagaimana membangun nilai, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan diri anak. Dari komponen metode kurikulum dalam arti luas, juga dapat mencakup persoalan seperti cara penyampaian seorang guru, cara memimpin sekolah, cara karyawan bekerja dan cara lain yang saling terkait yang dilakukan oleh SDM sekolah atau oleh penguasa yang semuanya berpengaruh terhadap pembangunan nilai-nilai yang diajarkan guru kepada siswa. Komponen metode harus terjamin mutunya karena dari proses yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik dimana berfungsi untuk membuat siswa yang bermutu.
4.      Komponen Evaluasi
Komponen evaluasi adalah komponen kurikulum yang berfungsi untuk mengukur berhasil atau tidaknya pelaksanaan kurikulum. Memfungsikan evaluasi berarti melakukan seleksi terhadap siapa yang berhak untuk diluluskan dan siapa yang belum berhak diluluskan. Mengingat bahwa kegiatan pembelajaran adalah kegiatan yang sudah didesain dan dilaksanakan untuk mencapai target tertentu, maka evaluasi harus didasarkan atas pencapaian target kurikulum.

Untuk membahas atau menyusun suatu kurikulum perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang merupakan landasan bagi kurikulum. Faktor-faktor tersebut yaitu sebagai berikut.
1.      Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Sekolah bertujuan mendidik anak agar ia menjadi manusia dengan “baik” dalam masyarakat. Apakah yang dimaksud dengan “manusia yang baik” ditentukan oleh cita-cita, nilai-nilai, negara, dan dunia. Perbedaan filsafat dengan sendirinya menimbulkan perbedaan dalam tujuan pendidikan. Pendidikan di negara yang otokratis berlainan coraknya dengan di negara yang demokratis, pendidikan di negara yang berpaham Kristen tak sama di negara berasaskan agaman Islam, dan sebagainya. Itu sebabnya maka curriculum bertalian erat dengan filsafat pendidikan.
2.      Psikologis Belajar
Pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak itu dapat dididik. Anak itu dapat belajar. Soal yang penting ialah bagaimanakah anak itu belajar? Teori tentang belajar atau psikologi belajar juga faktor yang penting dalam kurikulum. Susunan bahan pelajaran banyak dipengaruhi faktor ini.
3.      Faktor Anak
Sekolah didirikan untuk anak. Oleh sebab itu, anak itu sendiri merupakan suatu faktor yang tak dapat diabaikan. Pada permulaan abad kedua puluh hak dan pribadi anak sangat diutamakan. Ada kurikulum yang semata-mata didasarkan atas minat dan kebutuhan anak yang disebut child-centered kurikulum yang timbul reaksi terhadap kurikulum yang hanya member bahan pelajaran yang penting menurut anggapan orang dewasa tanpa menghiraukan keinginan dan kebutuhan anak sendiri.
4.      Faktor Masyarakat
Kemudian ternyata bahwa child-centered kurikulum yang ekstrim atau berlebih-lebihan itu tidak dapat dipertahankan. Bagaimanapun juga anak itu harus hidup dalam masyarakat dan harus memenuhi tugasnya masing-masing, baik sebagai anak maupun sebagai orang dewasa kelak. Tuntutan masyarakat tak dapat diabaikan. Jadi, masyarakat dalam kurikulum ini tak berarti bahwa hanya kepentingan masyarakat saja diperhatikan, artinya bahwa kurikulum itu harus semata-mata society-centered. Kini orang mengambil jalan tengah yakni kurikulum berdasarkan child-in-his-society, di mana dicari keseimbangan antara kepentingan anak dan masyarakat.

2.7    Jenis-Jenis Kurikulum
Terdapat berbagai ragam kurikulum, hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang. Bila dipandang dari sudut masa atau orientasi/focus maka kita mengenal dua jenis kurikulum, yaitu sebagai berikut.
a.       Kurikulum tradisional atau kurikulum yang berpusat/berorientasi pada pengajar;
b.      Kurikulum modern atau kurikulum yang berpusat/berorientasi pada pembelajar. (Nunan 1988:5-6 dalam Tarigan, 1993:19).
Bila dipandang dari sudut sistem nilai pendidikan, maka kita mengenal kurikulum sebagai berikut.
a.       Kurikulum Humanisme Klasikal
b.      Kurikulum Rekonstruksionisme
c.       Kurikulum Progressivisme (Clark 1987:93-99 dalam Tarigan, 1993:19)
Bila dipandang dari segi teori dan praktiknya, maka kita mengenal kurikulum sebagai berikut.
a.       Kurikulum Teoretis
b.      Kurikulum Praktis (Nunan 1989:144-145 dalam Tarigan, 1993:19)
Bila dipandang dari sudut kejelasan atau keterselubungannya, kita mengenal kurikulum sebagai berikut.
a.       Kurikulum Nyata (Overt Curriculum)
b.      Kurikulum Terselubung (Hidden Curriculum) (Widdowson 1990:184 dalam Tarigan, 1993:19)
Bila dipandang dari perspektifnya, maka kita mengenal kurikulum sebagai berikut.
a.       Kurikulum Ideal
b.      Kurikulum Formal
c.       Kurikulum Instruksional
d.      Kurikulum Operasional
e.       Kurikulum Eksperiensial (Klein 1983:199 dalam Tarigan, 1993:19)

Kurikulum ideal menggambarkan keyakinan-keyakinan para pakar dalam disiplin-disiplin itu dan rekomendasi-rekomendasi mengenai hal-hal yang harus dimasukkan di dalam kurikulum dan bagaimana caranya diimplementasikan. Keputusan-keputusan yang dibuat pada tingkat ini mencerminkan nilai-nilai pakar pribadi sendiri. Jadi, tidak terdapat consensus, persetujuan umum, dan tiada upaya untuk memperoleh persetujuan di antara perspektif pada kurikulum ideal. Sedikit sekali pemikiran yang diberikan kepada pengekangan-pengekangan sumber daya yang terbatas dan kemauan-kemauan umum yang ditempatkan praktek pendidikan. Pemikiran seorang pemimpin dalam kurikulumideal tidaklah perlu dipengaruhi oleh kebutuhan untuk membuat keputusan-keputusan langsung dan praktis kalau memang muncul atau harus ada pemikiran para pelaksana.

Pemikiran formal terdiri atas harapan-harapan yang terkandung dan keputusan-keputusan yang dibuat tentang kuriikulum melebihi tingkat kelas oleh insane-inan yang di luar para pakar. Kurikulum ini memuat bagaimana cara-cara para petugas sekolah, penerbit buku, dan organisasi-organisasi profesional memandang serta memperlakukan kurikulum. Pendek kata semua golongan berupaya dari bidang masing-masing untuk menunjang dan menyukseskan kurikulum formal.

Kurikulum instruksional mencerminkan harapan-harapan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan perkiraan-perkiraan sang pengajar dalam meladeni para anak didik supaya sukses. Kurikulum pada tingkat ini bergantung pada kemampuan dan keterampilan profesional sang pengajar dan persepsi-persepsi pribadinya mengenai pendidikan. Keputusan-keputusan biasanya dibuat dengan mengingatt suatu kelas khusus dan dengan sejumlah keputusan yang dibuat pada kurikulum ideal dan kurikulum formal tadi. Sang pengajar secara pribadi atau secara individual di dalam suatu kelas khusus justru merupakan fokus pada kurikulum istruksional ini.

Pada kurikulum operasional, sang pengamat mendokumentasikan proses-proses interaktif yang berlangsung di dalam kelas sebaik kurikulum itu diimplementasikan atau dilaksanakan. Karena sang pengajar teralalu terlibat atau terlalu aktif berpartisipasi dalam interaksi, maka agar dapat mendokumentasikan secara sistematis apa yang (sedang) terjadi, maka memang dibutuhkan tenaga seorang pengamat yang terlatih. Sang pengajar dan para pembelajar merupakan sasaran utama bagi sang pengamat. Banyak keputusan dibuat sebaik sang pengajar dan para pembelajar berinteraksi di dalam kelas. Rencana-rencana yang telah dibuat sebelum pengajar bertemu dengan para pembelajar pun diubah, rencana-rencana baru berkembang di lapangan  sebaik pengajaran berlangsung. Keputusan-keputusan yang dibuat pada tingkat interaktif ini turut membatasi perspektif operasional kurikulum.

Dalam kurikulum eksperiensial, perspektifnya dibatasi sebagai hal-hal yang secara actual dialami oleh pembelajar sebagai suatu akibat atau hasil rencana-rencana kurikulum yang telah dibuat dan interaksi-interaksi yang terjadi pada tingkat-tingkat lainnya. Sang pembelajar memilih dan berekasi terhadap yang disajikan berdasarkan minat, nilai, kemampuan, dan pengalaman sebelumnya. Proses selektif dan reaktif ini berakibat dalam suatu hal unik dan sampai taraf pengalaman pribadi dari kurikulum eksperiensial bagi setiap pembelajar (Klein, 1983:199-200 dalam Tarigan, 1993:22).
III.      PENUTUP

3.1    Simpulan
Simpulan dari makalah ini yaitu sebagai berikut.
3.1.1        Kurikulum adalah aktivitas dan kegiatan belajar yang direncanakan, diprogramkan bagi peserta didik di bawah bimbingan sekolah, baik di dalam maupun luar sekolah.
3.1.2        Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana (curriculum plan) dengan kurikulum yang fungsional (functioning curriculum). Suatu kurikulum, apakah itu kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah atau perguruan tinggi, kurikulum sekolah umum, kejuruan, dan lain-lain merupakan perwujudan  atau penerapan teori-teori kurikulum. Bidang cakupan teori atau bidang studi kurikulum meliputi (1) konsep kurikulum, (2) penentuan kurikulum, (3) pengembangan kurikulum, (4) desain kurikulum, (5)  implementasi dan (6) evaluasi kurikulum.
3.1.3        Teori kurikulum dalam pendidikan memuat pertimbangan-pertimbangan multi dimensional yang merupakan sekelompok keputusan tentang tujuan, struktur, pelaksanaa, dan evaluasi kurikulum maupun sistem persekolahan. Teori kurikulum membahas empat bagian pokok yaitu (1) konsep, (2) fungsi, (3) klasifikasi, dan (4) kurikulum inti (core curriculum).
3.1.4        Dalam model-model baku proses-proses kurikulum biasanya para perencana kurikulum bergerak maju secara sistematis dari penaksiran kebutuhan menuju maksud dan tujuan, terus keperincian isi pengajaran program. Berbicara mengenai proses-proses kurikulum, maka akan teringat model yang diajukan oleh Taba (1962:12 dalam Tarigan, 1993:18 ) yang terdiri tujuh langkah yaitu (1) diagnosis kebutuhan, (2) perumusan tujuan, (3) pemilihan isi, (4) penataan isi, (5) pemilihan pengalaman belajar, (6) penataan pengalaman belajar, dan (7) penentuan objek dan sarana penilaian.
3.1.5        Tujuan adalah komponen kurikulum yang sering dianggap komponen pertama dalam menyusun kurikulum karena tujuan akan mengarah penyusunan komponen-komponen kurikulum lainnya. Untuk memahami asal mula atau bagaimana tersusunnya tujuan kurikulum dari suatu sekolah (lembaga pendidikan) perlu diketahui tentang sumber-sumber yang membantu. Sumber-sumber tersebut adalah berupa dasar-dasar kurikulum yakni filsafat dan tujuan pendidikan, psikologi belajar, faktor anak dan masyarakat. Misalnya kita akan menuliskan tujuan kurikulum Sekolah Menengah Pertama di Indonesia, maka tujuan tersebut harus sesuai sejalan dan sesumber pada tujuan umum pendidikan di Indonesia. Agar dapat memahami sifat dan kedudukan tujuan kurikulum suatu sekolah, perlu diketahui adanya hirarki tujuan pendidikan, yaitu (1) tujuan umum pendidikan nasional, (2) tujuan institusional, (3) tujuan kurikuler, dan (4) tujuan istruksional.
3.1.6        Kurikulum memunyai empat komponen yaitu (1) tujuan (obyektive), (2) pengalaman-pengalaman belajar (learning experiences), (3) organisasi dari pengalaman belajar (organization of learning experiences), dan (4) penilaian hasil belajar (evaluation of student progress).
3.1.7        Jenis-jenis kurikulum dapat dibedakan atas lima jenis, yaitu (1) berdasarkan orientasi atau fokus meliputi kurikulum tradisional dan kurikulum modern, (2) berdasarkan sistem nilai pendidikan meliputi kurikulum humanisme klasikal, kurikulum rekonstruksionisme, kurikulum progresivisme, (3) berdasarkan teori dan praktek meliputi kurikulum teori dan kurikulum praktis, (4) berdasarkan kejelasan atau keterselubungannya meliputi kurikulum nyata dan kurikulum terselubung, dan (5) berdasarkan perspektifnya meliputi kurikulum ideal, kurikulum formal, kurikulum instruksional, kurikulum opresional, dan kurikulum eksperiensial.

DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, S. 2006. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Subandijah. 1993. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Sukmadinata, Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Dasar-Dasar Kurikulum Bahasa. Bandung : Angkasa Bandung.
Team Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik. 1995. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM. Jakarta : Grafindo Persada.

2 komentar:

  1. Izin ambil beberapa isi artikelnya yah kak buat tugas kuliah, sekaligus saya upload di blog saya, saya cantumkan sumbernya. Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus